Kesulitan utama dalam membuat perbandingan budaya antara Indonesia dan Jepang disebabkan perbedaan karakteristik kedua bangsa tersebut. Bangsa Jepang relatif homogen, dan hanya memiliki sekitar 15 bahasa (tidak berarti 15 suku bangsa, karena termasuk didalamnya sign language untuk tuna rungu), dan telah memiliki sejarah yang jauh lebih panjang, sehingga nilai-nilai budaya itu lebih mengkristal. Adapun bangsa Indonesia berciri heterogen, multi etnik, memiliki lebih dari 700 bahasa, sehingga tidak mudah untuk mencari serpih-serpih budaya yang mewakili Indonesia secara nasional. Perlu dipisahkan nilai-nilai mana yang diterima secara nasional di Indonesia, dan mana yang merupakan karakter unik salah satu suku yang ada. Bahasan dalam makalah ini dibatasi pada perbandingan budaya Indonesia dan Jepang dari segi-segi sbb. “nama dan tanda tangan”, “cara pemakaian gesture untuk penghormatan kepada yang lebih tua/dihormati”.
Jepang :
Budaya Harakiri. Harakiri adalah
kebiasaan orang Jepang jika mengalami kekalahan atau melakukan kesalahan yang
memalukan. Mari kita lihat sisi positif dan negatifnya. Pada zaman dahulu,
Harakiri dilakukan saat seseorang kalah berduel. Tidak tahan menanggung malu.
Memang terdengar seperti orang yang memiliki kepribadian yang lemah dan dosa
hukumnya jika bunuh diri, tetapi maksud sebenarnya adalah untuk menjaga
kehormatan. Daripada dibunuh atau diampuni lalu hidup terhina, lebih baik
berbesar hati mengakui kekalahan lau mati dengan terhormat. Sampai sekarang,
harakiri masih ada di kehidupan orang Jepang. Lihat saja para koruptor Jepang
yang pasti mati bunuh diri karena tak sanggup menahan malu. Padahal mereka
korupsi untuk membiayai kebutuhan partai. Tidak seperti di Indonesia masuk
rekening pribadi. Inilah yang menyebabkan Jepang tidak masuk dalam 10 Negara
Asia terkorup versi metro10. Atau kisah saat pertempuran Jepang- Amerika di
Pulau Iwo Jima. Tentara Jepang hanya ada 22000 dan Amerika 100000. Dilihat dari
jumlah sudah pasti kalah. Tapi baik jendral maupun prajurit tidak ada yang mau
menyerah. Mereka tetap bertempur walaupun sudah tahu apa hasilnya. Dan bagi
mereka yang berhasil selamat, akan langsung menancapkan pisau ke perut mereka
alias Harakiri. Kalau kita, baru ditodong kompeni sudah bilang “Ampun menir.”
Bahkan, para pilot yang selamat dalam pertempuran usai perang ini, langsung
kembali ke Jepang dan bunuh diri di tempat pendaratan. Dan diyakini mereka
menjadi hantu dan membuat tempat pendaratan mereka salah satu tempat terangker
di Jepang. Intinya mereka itu tahu malu, disiplin, dan cinta negara. Tidak
seperti koruptor kita yang masih bisa senyum-senyum disorot kamera TV dan tidak
mengaku salah. Mereka juga tidak terbiasa dengan budaya jam karet.
Tradisi penamaan di Jepang :
Nama di Jepang terdiri dari dua
bagian : family name dan first name. Nama ini harus dicatatkan di kantor
pemerintahan (kuyakusho), selambat-lambatnya 14 hari setelah seorang bayi
dilahirkan. Semua orang di Jepang kecuali keluarga kaisar, memiliki nama
keluarga.
Tradisi pemakaian nama keluarga
ini berlaku sejak jaman restorasi Meiji, sedangkan di era sebelumnya umumnya
masyarakat biasa tidak memiliki nama keluarga. Sejak restorasi meiji, nama
keluarga menjadi keharusan di Jepang. Dewasa ini ada sekitar 100 ribu nama
keluarga di Jepang, dan diantaranya yang paling populer adalah Satou dan
Suzuki.
Jika seorang wanita menikah, maka
dia akan berganti nama keluarga, mengikuti nama suaminya. Namun demikian,
banyak juga wanita karir yang tetap mempertahankan nama keluarganya. Dari
survey yang dilakukan pemerintah tahun 1997, sekitar 33% dari responden
menginginkan, mereka diizinkan untuk tidak berganti nama keluarga.
Hal ini terjadi karena pengaruh
struktur masyarakat yang bergeser dari konsep “ie” dalam tradisi keluarga Jepang.
Semakin banyak generasi muda yang tinggal di kota besar, sehingga umumnya
menjadi keluarga inti (ayah, ibu dan anak), dan tidak ada keharusan seorang
wanita setelah menikah kemudian tinggal di rumah keluarga suami.
Tradisi di Jepang dalam memilih
first name, dengan memperhatikan makna huruf Kanji, dan jumlah stroke, diiringi
dengan harapan atau doa bagi kebaikan si anak.
China :
Kebudayaan China ialah penempatan
kepada salah satu tamadun tertua dan paling kompleks yang meliputi sejarah
lebih 5,000 tahun. Negara China meliputi kawasan geografi besar yang penuh adat
dan tradisi yang banyak berbeza antara pekan, bandar dan wilayah.
Kebudayaan kuno China dimulai
pada massa kaisar T'ang dinasti Syang yang berlangsung selama tahun 1766- 1122
SM. Pada zaman dinasti ini berkembang semacam feodalisme, selain kaisar yang
berkuasa di pusat wilayah ada pula bangsawan- bangsawan yang memerintah di
daerah- daerah pesisir .
Pada zaman dinasti Cou seorang
raja atau kaisar disebut "Putra langit" yang di percaya sebagai dewa
tertinggi alam semesta. Sistem pemerintahan masih sama dengan sistem
pemerintahan sekarang, jika seorang raja bekerja dengan baik maka akan di
dukung penuh oleh rakyat begitu pun sebaliknya.
Bahasa Cina lisan terdiri
daripada sebilangan dialek Cina sepanjang sejarah. Ketika Dinasti Ming, bahasa
Mandarin baku dinasionalkan. Sengguhpun begitu, barulah ketika zaman Republik
China pada awal abad ke-20 apabila kelihatan apa-apa hasil yang nyata dalam
memupuk satu bahasa seragam di China.
Pada zaman kuno, bahasa Cina
Klasik menjadi standard penulisan selama beribu-ribu tahun, tetapi banyak
terhad kepada golongan sarjana dan cendekiawana. Menjelang abad ke-20, jutaan
rakyat, termasuk yang di luar kerabat diraja buta huruf. Hanya selepas Gerakan
4 Mei baru bermulanya usaha beralih ke bahasa Cina Vernakular yang membolehkan
rakyat biasa membaca kerana dirangka berasaskan linguistik dan fonologi bagi
suatu bahasa lisan.Sebahagian besar budaya Cina berasaskan tanggapan bahawa
wujudnya sebuah dunia roh. Berbagai-bagai kaedah penelahan telah membantu
menjawab soalan, dan dijadikan pun alternatif kepada ubat. Budaya rakyat telah
membantu mengisi kekosongan untuk segala hal yang tiada penjelasannya. Kaitan
antara mitos, agama dan fenomena yang aneh memang rapat sekali. Dewa-dewi
menjadi sebahagian tradisi, antara yang terpenting termasuk Guan Yin, Maharaja
Jed dan Budai. Kebanyakan kisah-kisah ini telah berevolusi menjadi perayaan
tradisional Cina. Konsep-konsep lain pula diperluas ke luar mitos menjadi
lambang kerohanian seperti dewa pintu dan singa penjaga. Di samping yang suci,
turut dipercayai yang jahat. Amalan-amalan seperti menghalau mogwai dan jiang
shi dengan pedang kayu pic dalam Taoisme adalah antara konsep yang diamalkan
secara turun-temurun. Upacara penilikan nasib Cina masih diamalkan pada hari
ini selepas bertahun-tahun mengalami perubahan.
Alat Musik Tradisional Alat musik
tradisional Cina secara sederhana dapat digolongkan sebagai berikut: Alat musik
gesek Erhu = Rebab China, badannya menggunakan kulit ular sebagai membran,
menggunakan 2 senar, yang digesek dengan penggesek terbuat dari ekor kuda Gaohu
= Sejenis dengan Erhu, hanya dengan nada lebih tinggi Gehu = Alat musik gesek
untuk nada rendah, seperti Cello Banhu = Rebab China, dengan badan terbuat dari
batok kelapa dengan papan kayu sebagai membrannya Alat musik petik Alat musik
ini memiliki banyak senar, cara memainkannya dengan memukul Liuqin = Alat musik
petik kecil bentuknya seperti buah pir dengan 4 senar Yangqin = dengan stik
bambu sebagai pemukulnya Pipa = Alat musik petik berbentuk buah pir dengan 4
atau 5 senar Ruan = Alat musik petik berbentuk bulat dengan 4 senar Sanxian =
Alat musik petik dengan badan terbuat dari kulit ular dan dengan leher panjang,
memiliki 3 senar Guzheng = Kecapi yang memiliki 16 - 26 senar Konghou = Harpa
China Alat musik tiup Dizi = Suling dengan menggunakan membran getar Suona =
Terompet China Sheng = Alat musik yang menggunakan bilah logam dengan
tabung-tabung bambu sebagai penghasil suara Xiao = Suling Paixiao = Pipa pen
Alat musik pukul ( perkusi ) Paigu = Gendang yang terdiri dari satu set 4 atau
lebih. Dagu = Tambur besar. Chazi = Simbal, cengceng. Luo = Gong. Muyu = Kecrek
terbuat dari kayu.
Pakaian bangsa China Sejarah
kehadiran kaum China bermula dengan berkembangnya Melaka sebagi pusat
perdagangan, diikuti Pulau Pinang dan Kula Lumpur. Kehadiran mereka ini membawa
bersama bukan sahaja barangan dagangan untuk tukaran, tetapi jua adat resam,
budaya dan corak pakaian tradisional mereka yang kemudiannya disesuaikan dengan
suasana tempatan. Busana klasik China yang asalnya berlapis-lapis, sarat dengan
sulaman benang emas dan sutera, kini masih boleh dilihat dengan diubahsuai
mengikut peredaran masa dan kesesuaian. Jubah Labuh, Cheongsam, Baju Shanghai
dan Samfoo kekal dipakai di dalam majlis dan upacara. Kebanyakannya masih
dihasilkan dari negeri China menggunakan pabrik sutera dan broked yang berwarna
terang dengan ragamhias benang emas dan perak.
Bahasa Bahasa China lisan terdiri
daripada sebilangan dialek Cina sepanjang sejarah. Ketika Dinasti Ming, bahasa
Mandarin baku dinasionalkan. Sengguhpun begitu, barulah ketika zaman Republik
China pada awal abad ke-20 apabila kelihatan apa-apa hasil yang nyata dalam
memupuk satu bahasa seragam di China. Pada zaman kuno, bahasa China Klasik
menjadi standard penulisan selama beribu-ribu tahun, tetapi banyak terhad
kepada golongan sarjana dan cendekiawana. Menjelang abad ke-20, jutaan rakyat,
termasuk yang di luar kerabat diraja.
Indonesia :
Adapun masyarakat di Indonesia
tidak semua suku memiliki tradisi nama keluarga. Masyarakat Jawa misalnya,
tidak memiliki nama keluarga. Tetapi suku di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi
memiliki nama keluarga. Dari nama seseorang, kita dapat memperkirakan dari suku
mana dia berasal, agama apa yang dianut dsb. Berikut karakteristik nama tiap
suku di Indonesia :
- Suku Jawa (sekitar 45% dari seluruh populasi) : biasanya diawali dengan Su (untuk laki-laki) atau Sri (untuk perempuan), dan memakai vokal “o”. Contoh : Sukarno, Suharto, Susilo, Joko, Anto, Sri Miranti, Sri Ningsih.
- Suku Sunda(sekitar 14% dari seluruh populasi) : banyak yang memiliki perulangan suku kata. Misalnya Dadang, Titin, Iis, Cecep
- Suku Batak : beberapa contoh nama marga antara lain Harahap, Nasution.
- Suku Minahasa : beberapa contoh nama marga antara lain Pinontoan, Ratulangi.
- Suku Bali : Ketut, Made, Putu, Wayan dsb. Nama ini menunjukkan urutan, bukan merupakan nama keluarga.
Selain nama yang berasal dari
tradisi suku, banyak nama yang diambil dari pengaruh agama. Misalnya umat Islam
: Abdurrahman Wahid, Abdullah, dsb. Sedangkan umat Katolik biasanya memakai
nama baptis : Fransiskus, Bonivasius, Agustinus, dsb.
Baik di Jepang maupun di
Indonesia dalam memilih nama (first name) sering memilih kata yang mensimbolkan
makna baik, sebagai doa agar si anak kelak baik jalan hidupnya. Khusus di
Jepang, banyaknya stroke kanji yang dipakai juga merupakan salah satu
pertimbangan tertentu dalam memilih huruf untuk anak. Umumnya laki-laki di
Jepang berakhiran “ro”, sedangkan perempuan berakhiran “ko”
Sastra Indonesia adalah sebuah
istilah yang melingkupi berbagai macam karya sastra di Asia Tenggara. Istilah
"Indonesia" sendiri mempunyai arti yang saling melengkapi terutama
dalam cakupan geografi dan sejarah poltik di wilayah tersebut. Sastra Indonesia
sendiri dapat merujuk pada sastra yang dibuat di wilayah Kepulauan Indonesia.
Sering juga secara luas dirujuk kepada sastra yang bahasa akarnya berdasarkan
Bahasa Melayu (dimana bahasa Indonesia adalah satuturunannya). Dengan
pengertian kedua maka sastra ini dapat juga diartikan sebagai sastra yang
dibuat di wilayah Melayu (selain Indonesia, terdapat juga beberapa negara
berbahasa Melayu seperti Malaysia dan Brunei), demikian pula bangsa Melayu yang
tinggal di Singapura.
Kesimpulan :
Perbandingan budaya antara
Indonesia dan Jepang bermanfaat untuk mengetahui pola berfikir bangsa Indonesia
dan bangsa Jepang. Salah satu kesulitan utamanya adalah perbedaan karakteristik
kedua bangsa: bangsa Jepang relatif homogen, sedangkan bangsa Indonesia sangat
heterogen.
Baik budaya Jepang maupun
Indonesia memiliki keunikan tersendiri dalam mengekspresikan rasa hormat, rasa
maaf. Jabat tangan adalah satu-satunya tradisi yang berlaku baik di Jepang
maupun Indonesia. Kesalahan yang sering terjadi jika seorang Indonesia baru
mengenal budaya Jepang adalah saat melakukan ojigi, wajah tidak ikut
ditundukkan melainkan memandang lawan bicara. Hal ini mungkin terjadi karena
terpengaruh gaya jabat tangan yang lazim dilakukan sambil saling berpandangan
mata. Kesalahan lain yang juga sering terjadi adalah mencampurkan ojigi dan
jabat tangan. Hal ini juga kurang tepat dipandang dari tradisi Jepang.